Categories
Opini

That Success: Looking for or Waiting

Tak terlalu asing ditelinga bahkan sudah terlalu sering didengar tentang kata kesuksesan,bahkan hampir semua orang pun menginginkan itu,apa itu? bagaimana cara mendapatkannya? Dan kenapa orang-orang ingin sekali mendapatkannya? Dan yang terkahir kapan kita mndapat kesuksesan itu?

Kesuksesan itu sendiri memiliki arti keberhasilan dan keberuntungan atau kondisi dimana orang lain senang mempelajari dan meniru kondisi tersebut.

Simple nya itu adalah hasil dari yang kalian usahakan ataau impian kalian yang akhirnya terwujud pastinya dong dari  kalimat tersebut tidak mungkin didapat secara Cuma-Cuma perlu giat dalam berusaha dan berdoa.

Tentunya mendapatkannya sesuai dengan apa yang kalian usahakan selama ini,tidak ada namanya kesuksesan yang instan bahkan prosesnya pun kadang sangat melelahkan atau mungkin hampir semua melelahkan.

Untuk memperolehnya pun harus ditentukan tujuan yang ingin dicapai,strategi yang baik, dan langkah yang ingin diambil apabila ada kendala dalam proses tersebut. Langkah inilah yang melatih ketahanan diri kita apakah kita sanggup untuk maju atau mundur dalam proses tersebut.

Lalu kenapa orang-orang ingin sekali mendapatkan kesuksesan itu kenapa ia selalu dimpikan semua orang. Kesuksesan itu ibarat hasil jerih payah kita ibarat gajian pertama setelah kerja keras maksimal,pertanyaanya saat ita berusaha dan sudah mencapai level yang ditargetkan apakah kita hanya tinggal menunggu kesuksesan itu datang?atau kita kembali mencarinya?

Dua pertanyaan ini selalu ada dalam hati saya ketika kembali mengingat tentang kesuksesan itu sendiri apakah dicari atau ditunggu dan akan dating dengan sendirinya?

Maksud ditunggu juga disini adalah ketka kita sudah mencapai tujuan yang kita targetkan atau apakah itu sudah sukses? Atau kita tinggal menunggunya saja datang sendiri karna target yang kita capai pun sudah terwujud.

Definisi dari kesuksesan itu adalah ketika kamu bisa menukan kebahagiaan sendiri dan bisa membuat orang lain bahagia,dapat membantu diri sendiri dan orang lain dalam menjalan hidup dengan baik, Kesuksesan tidak melulu soal harta dan tahta karna sejujurnya kebahagiaan yang dapat medatangkan harta dan tahta itu sendiri, tidak peduli seberapa banyak harta yang dimiliki,seberapa tinggi jabatan atau popularitas yang dimiliki, tetapi bagaimaana anda menyikapinya dengan rasa syukur,ikhlas dan bahagia dan juga bermanfaat bagi diri dan orang lain.

Beda lagi ketika kamu mendapat kebahagiaan diri sendiri tapi tidak dengan memberikan dampak positif juga bagi orang lain itu seperti kemenangan tanpa seorang pemenang, dan menurut saya kesuksesan itu dicari bukan di tunggu karna ditunggu hanya akan meninggalkan ekspetasi yang tak sesuai dengan realita.

Berfokus dengan mencari kesuksesan itu membuatmu terfokus untuk meningkatkan kualitas diri sendiri menaikkan level yang lebih bagus menjadi sangat bagus daripada hari sebelumnya.

Menunggu hanya bisa mencapai tujuan yang ingin kamu gapai tanpa pernah merencanakan ingin menggapai hal-hal yang belum terencanakan sebelumnya dan itu bisa saja mengganggu pikiran ands belum lagi menaruh kualitas dan ekspetasi yang berlebihan yang malah tidak sesuai dengan relitanya menimbulkan putus asa yang membuat diri tidak ada kemauan untuk maju kembali.

Bagaimana kah cara agar kita tetap mempertahankan definisi sukses dalam hidup tetap optimis untuk maju dan terus meningkatkan level diri? Optimis dan berpikir positif kalau kalian akan menemukan kesuksesan itu kendala-kendala yang ada dalam prosesnya itu hanya batu loncatan yang harus kalian hadapi karna usaha tidak pernah mengkhianati hasil maka dari itu teruslah untuk mencari sampai kamu menemukan definisi kesuksesan itu sendiri.

Categories
Opini

Jangan Mau Tumbang Oleh Lidah Yang Tak Bertulang!

“Mulut kasar gak ngaruh sama perilaku!”

What a horrible statement! Aku tak habis pikir, kualitas calon penerus bangsa kian hari semakin mengalami penurunan. Indonesia memiliki beragam bahasa daerah, tak kalah juga dengan bahasa kasar yang semakin beragam bentuk. Anak bangsa sedang kritis. Tanpa sadar telah diperbudak oleh globalisasi. Virus telah menginfeksi jasmani dan rohani. Terlalu banyak persepsi dari berbagai sisi. Tak memberi solusi. Tak kunjung juga mendapat perubahan pasti. Kesedihan sebagai anak bangsa turut aku rasakan. Tatkla bertemu dengan anak bangsa yang lain, namun yang kudapati hanyalah perkataan memaki. Aku belum berhenti. Karena kontribusi bukan hanya soal edukasi. Membuat orang membeo pun bisa jadi.

Hari ini, mari kita berbincang lagi. Bagaimana menurutmu tentang pembahasanku? Apa yang begitu menarik sehingga kamu mengeluarkan effort untuk membaca tulisanku? Apa kamu merasakan hal yang sama? Atau jika kamu melakukan perbuatan ini, kamu tersinggung? Apakah hal ini bertentangan denganmu?

Kamu tau gak? Baru-baru ini, dunia media sosial cukup ramai dengan cuplikan video anak-anak yang berkata kasar. Bukannya menegur atau kontra dengan cuplikan tersebut. Netizen malah ramai memberikan thumbs up untuk perbuatan tersebut. Seakan bangga dan tertawa di atas keterpurukan moral ini.  Apa kamu salah satunya?

Ketidakberpihakanku bukan tanpa alasan. Bayangkan saja, kamu mendengar anak yang berkata kasar kepada temannya di lingkungan tempat tinggalmu. Risih dan malu. First impression ketika mendengar hal itu adalah, “Anak siapa sih ini?” “Sekolah dimana sih?”. Lalu, kemudian menegurnya. Namun, hal ini hanya akan terjadi jika kamu berada di pihakku. Kebanyakan dari kamu akan berkata, “Ampun bang jago” atau perkataan lain yang konotasinya setali tiga uang dengannya.  Sama hakekatnya dan tak jauh beda! Karena sama untuk dijadikan bahan candaan.

Terlebih lagi, selebgram yang mengatasnamakan dirinya influencer. Meng-influence dengan cara yang salah. Pengguna media sosial saat ini tak terbatasi oleh umur. Seharusnya dapat menjadi pertimbangan. Berkata kasar sudah menjadi identitas. Bad news, untuk anak yang masih dalam tahap suka meniru.

“Kata kasar bisa kok mempererat hubungan pertemanan”

Beruntunglah kamu yang persahabatannnya dikelilingi oleh good circle. Tak ada kata kasar. Hanya ada pujian, saran, dan kritik secara diam-diam. Saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran. Berbeda pula jika kamu dikelilingi oleh persahabatan yang notabene berorientasikan dunia. Mungkin mereka bisa menjadi musuhmu pada hari akhir kelak. “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa” (Q.S Az-Zukhruf :67). Di dunia, kamu susah senang bersama. Melakukan hal tak berguna pun bersama. Membuat panggilan khusus seperti “nyet” agar akrab. Wallahi, tak akan memberi keuntungan sama sekali perilakumu itu.

Kamu sekarang pasti sedang berperang dengan dirimu. Ingin membenarkan tulisanku. Namun juga ingin menyalahkannya dengan berbagai alasan. Kali ini tundukkanlah egomu sejenak. Berikan ruang untuk dirimu merenungi hal ini. Bukankah lebih bermanfaat model persahabatan seperti itu?

“Mulutku kasar tapi hatiku baik”

Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Orang yang busuk akan terpancar dari hatinya kebusukan melalui lisan dan anggota badannya, sedangkan orang yang baik akan terpancar kebaikan dari lisan dan anggota badannya pula”. [Zaadul Ma’ad, jilid 1 hal. 68]

Fyi, kita dapat mengukur seseorang dari cara berbicaranya. Dan ucapan seseorang itu mampu menjadi tolok ukur kehidupannya. Dari segi lingkungan maupun pendidikan. Dari cara berbicara, kamu mampu menentukan pola pikir, inteligensi, serta perilakunya. Kejamnya lisan mampu membunuh insan. Lidah yang tak bertulang mampu membuat tumbang.

Aku tak menggubris banyaknya penelitian yang mengatakan terdapat sisi positif dari bahasa kasar. Menurutku itu hanyalah segelintir manfaat dari banyaknya mudharat. Tak akan berguna. Karena manusia sendiri, pasti selalu akan mencari pembenaran yang semu.

“Bismillah, aku mau berubah, semoga Allah bantu agar mudah”

Kawan, seorang penuntut ilmu tak layak baginya berkata kasar. Pernahkah dirimu mendengar kata jihad? Jihad sebenarnya memiliki cakupan yang luas. Adapun jihad yang paling utama adalah jihad melawan hawa nafsu. Pelajaran itu aku dapatkan dari guruku di sekolah. Jika kamu meresapi hal tersebut dan berusaha mengamalkannya. Tuntaslah pembahasan kali ini. Tentunya, aku meyakini bahwa bahasa kasar ini adalah salah satu jihad melawan hawa nafsu. Menahan diri untuk tak berbuat hal tercela tersebut. “Berkata baik atau diam”. Perkataan yang mampu menyayat hati itu ibarat sebuah batu yang dilemparkan ke laut. Mudah melemparnya. Namun, kamu tak pernah tau sedalam mana batu itu tenggelam. Entah itu dalam bentuk ketikan jarimu di keyboard handphone atau perkataanmu secara langsung.

Kawan, jika selama ini dirimu masih berkata kasar. Mari cukupkan sampai di sini saja. Saatnya kamu melakukan perubahan. Tak sulit membuat bahagia orang-orang, terlebih orangtuamu. Tutur kata dan perilaku yang baik harus diutamakan. Meski sulit, yakinlah bahwa kamu pasti bisa membiasakan. Perlahan namun pasti. Perang dengan diri sendiri masih belum usai. Belum saatnya kamu mengangkat bendera putih tanda kekalahan. Selama kita masih hidup, kita harus tetap berjuang. Istirahat yang sesungguhnya ketika kita sudah sampai di Surganya Allah.

Sekali lagi teruslah berjuang. Jangan sampai tumbang oleh lidah yang tak bertulang! Ingatlah  bahwa masa depan ada di pundak kita. “Subbanul yaum, rijalul ghad”. Pemuda hari ini adalah pemimpin esok hari. Sadarlah wahai calon penerus bangsa! Di tangan kitalah  masa depan karakter bangsa. Kalau kata netizen give away“never surrender”. Semangat!

Ditulis Oleh : Andi Rezti Maharani

Categories
Opini

Pengabdianmu Abadi Meski di Masa Pandemi

Terlalu banyak memaknai arti guru. Guru adalah jembatan menuju masa depan. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Guru memberi asa tanpa putus asa. Bagiku, guru adalah seseorang yang membantuku mencintai dan mengenal Rabbku. Sebagai seorang santri, guru sangat memiliki kesan tersendiri. Sedangkan di pondok pesantren, seorang guru berperan ganda. Tak hanya sebagai guru, namun menjadi orang tua bagi para santrinya.

“Nak, pondok sepi ndak ada kalian semua. Ibuk rindu.”

Banyak sekali kata yang kujumpai tatkala sedang melakukan pembelajaran online “Rindu” salah satunya . Rindu itu kian hari akan terus meggerogoti jiwa. Memaksa ingin segera berjumpa. Sedikit nada sendu mengakhiri kalimat rindu. Sebuah pengorbanan yang telah diperjuangkan. Tak ada yang pernah tahu apa yang telah dilewati para guru di tengah pandemi.

Seringkali kami mengeluh dan berselisih paham antar kawan. Namun, guru tak mengerti dan kadang tak pengertian. Selalu akan ada yang kurang. Perlu kita pahami bahwa guru juga manusia, sama seperti kita. Kita tak bisa menuntut banyak. Yang saat ini kita butuhkan adalah sebuah relasi antara guru dan siswa yang saling memahami dan saling mengerti. Yang ku harapkan pula tuk saat ini.

Pekerjaan seorang guru adalah pekerjaan yang teramat mulia. Tak semua orang dapat bersabar mendidik seorang anak. Buktinya saat pandemi ini tak semua orang tua di rumah dapat menangani pembelajaran anak-anak mereka sendiri. ingat sebuah video yang viral tatkala seorang ibu rumah tangga sedang membantu anaknya menghafal Pancasila. Terlihat sangat kesulitan sekaligus menggelikan. Dari video tersebut, kita telah mengetahui bahwa menjadi guru memang tak semudah yang kita kira. Bukan hanya mendidik, namun juga membentuk.

Kawan apa kalian tahu? Kini, guru tak hanya soal profesi dan pekerjaan. Menurut Warsono dalam jurnalnya “Guru : Antara Pendidik, Profesi, dan Aktor Sosial”. Ia menuturkan bahwa saat ini guru pun harus menjadi aktor sosial. Aktor yang sedang berdialog menghadapi realita sosial. Menemukan jalan atas sebuah permasalahan pendidikan. Ekspektasi sosial dari masyarakat untuk mewujudkan cita-cita guru ideal semakin menambah tuntutan seorang guru. Bukan hanya soal pekerjaan dan pendapatan. Namun, panggilan jiwa dan kesadaran humanis. Tuntutan ini pun semata-mata tak akan merugikan profesi seorang guru. Justru membuat guru memiliki tambahan gaji. Gaji ekonomis (uang), gaji teologis (amal ibadah), dan gaji sosial (kesan yang baik dari siswanya dan mungkin didoakan).

Aku ngerti, kok. Pandemi ini membuat kita sama-sama susah. Mungkin selama ini, pernah terbersit dalam pikiran kita bahwa tugas yang guru berikan teramat banyak. Sangat menyusahkan, bukan? Namun, terkadang menumpuknya tugas itu karena memang salah kita yang sering menunda mengerjakannya. No offense ya! Jika guru diberi pilihan, guru pun tak ingin memberi kita tugas sekolah. Satu hal yang aku sadari, tugas yang diberikan kepada kita menjadi boomerang bagi kita sendiri. Keterbatasan waktu dalam pembelajaran, membuat kita harus mengisi kolom nilai dengan effort yang lebih.

Segala keluhan kita terkadang tanpa alasan. Hanya ingin membela diri. Mencari pembenaran yang fana. Kita  memiliki urusan lain, guru pun memiliki urusan yang lain. Tak melulu selalu mengurusi kita. Guru juga bertanggung jawab dengan keluarga mereka. Kita pun bertanggung jawab atas tugas rumah kita. Jika antar siswa dan guru saling mengerti dan memahami. Maka, perselisihan di tengah pandemi tak akan terjadi. Tak akan ada pula yang saling menyalahkan. Mencoba untuk berkaca. Bertanya pada diri, “Apa yang salah dari diri ini?”. Sekali lagi, ini semua bukan tentang kondisi namun tentang pribadi.

Hari guru kali ini harus kita maknai sebagai ajang saling memperbaiki diri. Hari guru sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasa guru yang telah banyak berkorban demi pembentukan karakter dan moral bangsa. Menjadi seorang guru memiliki dua tanggung jawab. Tanggung jawab atas kita sebagai siswa dan tanggung jawab atas ilmu yang mereka berikan kelak nanti di akhirat. Jatuh bangun, sambil tertatih-tatih, kepalanya tak pernah tunduk. Banyaknya masalah tertutupi oleh senyumnya yang merekah.

Terakhir, kucapkan selamat untuk teman-temanku yang sedang menghadapi Penilaian Akhir Semester. Para guru telah begitu banyak berperan untuk kita, jadi jangan sampai mengecewakan mereka, dengan berbuat curang dan tidak jujur. Tepat waktu dan selalu jaga kesehatan. Kita pasti bisa. Bersabarlah, kawanku. Tak lama lagi, akan kita jumpai senyuman merekah itu, ketika mereka menyambut kita kembali.  InsyaaAllah wa bi idznihi.

Oleh :  Andi Rezti Maharani (Siswa SMA Muhammadiyah 2 Al-Mujahidin )